Sore itu sembari menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di
masjid ini seusai ashar. Kulihat seseorang yang berpakaian rapi,
berjilbab dan tertutup sedang duduk disamping masjid. Kelihatannya ia
sedang menunggu seseorang juga. Aku mencoba menegurnya dan duduk
disampingnya, mengucapkan salam, sembari berkenalan.
Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada pertanyaan itu. “Anti sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar.
Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?”
Pertanyaan yang hanya bisa ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab
karena masih hendak melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan
alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“Menunggu suami” jawabnya pendek.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar
lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari
mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnyakuberanikan juga untuk
bertanya “Mbak kerja di mana?”
Entah keyakinan apa yang membuatku demikian yakin jika mbak ini memang
seorang wanita pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini
kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya
dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan
hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah PINTU AWAL kita wanita
karir yang bisa membuat kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin
didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya.
Gaji saya 7 juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar
di pagi hari dan es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka
padanya. Kamu tahu kenapa ?
Waktu itu jam 7 malam, suami saya saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, mungkin hanya
istirahat yang terlintas dibenak kami wanita karir. Ya, Saya akui saya
sungguh capek sekali ukhty. Dan kebetulan saat itu suami juga bilang
jika dia masuk angin dan kepalanya pusing.
Celakanya rasa pusing itu juga menyerang saya. Berbeda dengan saya,
suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah
berkata, “abi, pusing nih, ambil sendirilah !!”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya
terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang.
Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudahbersih tercuci. Siapa lagi
yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya (kami memang berkomitmen
untuk tidak memiliki khodimah)?
Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar,
berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu
lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya
Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi
sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya.
Air mata ini menetes, air mata karena telah melupakan hak-hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat
hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di
usapnya.
“Kamu tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya.
Sekitar 600-700 rb/bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan.
Malam itu saya benar-benar merasa sangat durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada
suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya
dengan ikhlas dari lubuk hatinya.
Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata “Umi, ini ada
titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak
banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah katanya.
Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong dan durhaka pada nafkah yang diberikan suami saya,
dan saya yakin hampir tidak ada wanita karir yang selamat dari fitnah
ini”
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja,
mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang
diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa harta, dan
karena harta juga wanita sering lupa kodratnya”
Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan
menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-
saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti
berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan
pekerjaan suami saya dengan yang lain.”
Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku
bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela
meninggalkan pekerjaan.
“Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan
untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak
orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami
kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha
kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah
sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan
sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang
belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja
di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai
heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali mengalir,
menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“Anti tau, saya hanya bisa menangis saat itu. Saya menangis bukan karena
apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan karena itu.
Tapi saya menangis karena imam saya sudah DIPANDANG RENDAH olehnya.
Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya,
padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya ?
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, saat itu orang tersebut
belum mempunyai pekerjaan ?
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan ?
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang
membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan
berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami
saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhty, sangat bangga, bahkan
begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian
dengan pekerjaan seperti itu.
Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa
malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang
membuat saya begitu bangga pada suami saya.
Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak
perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain.
Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan
kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki
yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.
Dan dia mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku. Kulihat
dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan sepeda motor butut
mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada
niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu
meninggalkanku.
Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam
benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah…Allahu
Akbar
Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.
Itulah Kisah Wanita yang Rela Tinggalkan Karir Demi Taat pada Suami yang Sangat Inspiratif dan Menyentuh Hati,
sebagaimana kami lansir dari laman KisahMuslimcom. Meskipun tidak ada
kejelasan apakah ini kisah fiktif atau kisah nyata, tetapi setidaknya
kita semua bisa menghambil hikmah dibalik kisah inspiratif wanita karir
tersebut. Semoga bermanfaat.